Ramadhan: Stop Gibah Politik-Lanjut Lagi Menjelang Mudik

Beberapa grup whatsapp yang saya ikuti sepi. Sudah jarang “penesan”, padahal biasanya  kalau ada berita yang viral langsung disambar…kalau itu berita dari pemerintah, yang bereaksi pemilih Anies….kalau itu berita tenteang kelompok yang sudah tiga kali kalah pilpres, yang bereaksi pemilih Prabowo. Begitulah silaturahmi yang sudah terjalin dalam 3 kali pilpres. Tidak ada diskusi soal pluralisme atau multikulturalisme yang diteorikan oleh Will Kymlicka, tapi ada kesadaran bahwa yang terjadi di luar sana itu adalah permainan para elit. Penjahatnya bisa berubah dari satu pemilihan ke pemilihan berikutnya, begitu juga pendekarnya, berganti dari satu pemilihan ke pemilihan berikutnya. Sementara si korban…ya itu-itu saja, mayoritas rakyat yang masih merasa bahwa pemilihan politik dapat mengubah nasib.

Soal grup jadi sepi juga sama, mayoritas penghuni grup beranggapan menghormati Ramadhan dengan tidak terlalu banyak bicara di medsos. Membicarakan perkembangan politik, membicarakan kelakuan aparatus layanan publik yang tidak melayani, di-stop dulu, tidak baik, mengurangi pahala puasa.

Tapi percayalah….prinsip itu bubar sendirinya sekitar 10 atau tujuh hari menjelang lebaran. Saat itu, arus mudik mulai menggeliat, mulai banyak persoalan, mulai banyak ketidaberesan. Saat ini semua ikut bersuara, lupa dengan “menghormati Ramadhan” oleh hiruk pikuk mudik. Tidak ada lagi rasa “tidak baik” karena menggibah si pelayan public.

Max Weber, seorang sosiolog Jerman, mengemukakan bahwa birokrasi adalah sistem yang impersonal. Artinya, birokrasi bekerja berdasarkan aturan, prosedur, dan hierarki yang telah ditetapkan, bukan berdasarkan hubungan personal atau pertimbangan emosional. Dalam konsepnya, birokrasi yang ideal seharusnya mengutamakan efisiensi, objektivitas, dan keadilan dalam memberikan layanan kepada masyarakat.

Namun, dalam praktiknya, banyak orang masih menganggap bahwa membicarakan birokrasi sama dengan membicarakan individu tertentu. Padahal, kritik terhadap layanan publik yang dikelola oleh birokrasi seharusnya difokuskan pada sistem, bukan pada figur individu di dalamnya. Di bulan Ramadhan, diskusi mengenai pelayanan publik sering kali mendapatkan reaksi beragam. Ada yang menganggapnya sebagai kritik membangun, sementara yang lain melihatnya sebagai bentuk “ghibah” atau pembicaraan negatif yang tidak perlu.

Di bulan Ramadhan, umat Islam diajarkan untuk menjaga lisan dan menghindari pembicaraan yang tidak bermanfaat. Namun, menariknya, ketika layanan publik seperti layanan mudik dibahas, diskusi bisa menjadi sangat intens. Ada yang mengkritik kemacetan, keterlambatan transportasi, atau sistem pengelolaan yang dianggap kurang efektif. Di satu sisi, diskusi ini penting untuk perbaikan layanan ke depan, tetapi di sisi lain, ada yang menganggapnya sebagai bentuk “menggibah layanan mudik” yang tidak seharusnya dilakukan di bulan suci.

Sebagian orang melihat kritik terhadap layanan publik sebagai upaya perbaikan, sementara yang lain menganggapnya sebagai bentuk keluhan atau bahkan dosa. Padahal, dalam konteks birokrasi yang impersonal, kritik terhadap sistem seharusnya tidak dipandang sebagai serangan pribadi. Misalnya, jika seseorang mengeluhkan panjangnya antrean di terminal bus, itu bukan berarti mereka menyerang individu yang bekerja di sana, melainkan mempertanyakan efektivitas sistem antrian yang diterapkan.

Menariknya, ada beberapa topik yang tampaknya lebih diterima untuk didiskusikan di bulan Ramadhan, seperti layanan mudik. Setiap tahun, berbagai media membahas persiapan, kendala, dan solusi terkait mudik, dan ini dianggap wajar. Namun, jika ada kritik terhadap layanan publik lain, misalnya tentang birokrasi pengurusan administrasi, responsnya bisa berbeda. Ini menunjukkan bahwa ruang publik memiliki mekanisme tersendiri dalam melegitimasi diskusi tertentu.

Alasan lain mengapa diskusi tentang layanan mudik lebih mudah diterima adalah karena urgensinya dan keterlibatan langsung masyarakat di dalamnya. Berbeda dengan kritik terhadap sistem birokrasi yang lebih abstrak, layanan mudik memiliki dampak langsung pada banyak orang. Oleh karena itu, wajar jika lebih banyak suara yang muncul untuk menyoroti masalah dan mencari solusi.

Kesimpulannya, membicarakan layanan publik, termasuk layanan mudik, bukanlah sesuatu yang harus dihindari di bulan Ramadhan. Yang perlu diperhatikan adalah bagaimana cara menyampaikannya. Kritik yang membangun dan berbasis data akan lebih bermanfaat dibanding sekadar keluhan emosional. Ingatlah bahwa birokrasi bersifat impersonal—fokuslah pada sistem, bukan pada individu yang menjalankannya.

Penulis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *