Mengapa Jadi Penghamba?

Pernahkah Anda mendengar istilah menghamba? Biasanya istilah ini digunakan untuk menggambarkan seseorang yang mudah tunduk, patuh, bahkan rela merendahkan diri di hadapan orang yang punya kekuasaan atau uang. Tapi, pernahkah terpikir, apakah orang yang suka menghamba itu karena faktor kecerdasan, atau ada faktor lain di balik perilaku tersebut?

Menariknya, ilmu psikologi punya banyak jawaban tentang ini. Tidak melulu soal tingkat kecerdasan intelektual (IQ), ada banyak faktor yang membuat seseorang cenderung patuh atau bahkan rela menghamba pada orang lain.

Kalau bicara soal kepatuhan, kita tidak bisa lepas dari dua tokoh besar dalam psikologi sosial: Stanley Milgram dan Solomon Asch. Kedua pakar psikologi ini melakukan sebuah eksperiman. Milgram melakukan eksperimen yang sangat terkenal. Ia ingin tahu sejauh mana seseorang bersedia patuh pada otoritas, bahkan jika perintahnya bertentangan dengan hati nurani. Hasilnya mencengangkan! Banyak peserta rela memberikan “sengatan listrik” berbahaya kepada orang lain hanya karena diperintah oleh seorang yang punya otoritas.

Sementara itu, Asch melakukan eksperimen konformitas. Ia menunjukkan bagaimana seseorang bisa mengubah pendapatnya demi mengikuti mayoritas, walaupun jelas-jelas mayoritas itu salah. Ini menunjukkan bahwa manusia memang punya kecenderungan alami untuk patuh dan menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya, demi diterima atau menghindari konflik.

Jadi, perilaku “menghamba” kepada orang berkuasa atau orang kaya, bisa jadi hanyalah salah satu bentuk ekstrem dari kepatuhan dan konformitas tersebut.

Selain faktor sosial, psikologi juga melihat sisi kepribadian dan keyakinan diri seseorang. Salah satu konsep penting di sini adalah self-efficacy, istilah yang diperkenalkan oleh Albert Bandura.

Self-efficacy adalah keyakinan seseorang bahwa ia mampu mengendalikan hidupnya, menyelesaikan masalah, dan mencapai tujuan. Nah, orang yang memiliki self-efficacy rendah cenderung merasa tak mampu berdiri sendiri. Mereka lebih mudah bergantung pada orang lain yang dianggap lebih kuat, lebih kaya, atau lebih berkuasa.

Dalam banyak kasus, perilaku menghamba muncul dari rasa takut gagal, takut tidak bisa survive tanpa bantuan dari “atasan”, orang kaya, atau sosok yang lebih dominan. Mereka merasa dunia terlalu berat untuk dihadapi sendiri.

Ketika Penghambaan Jadi Pola: Dependent Personality Disorder: Dalam dunia psikologi klinis, perilaku ini bahkan bisa menjadi bagian dari sebuah gangguan yang dikenal sebagai Dependent Personality Disorder (DPD). Orang dengan DPD punya kebutuhan berlebihan untuk dirawat atau diarahkan oleh orang lain. Mereka takut membuat keputusan sendiri, takut ditinggalkan, dan sangat bergantung secara emosional.

Namun tentu tidak semua orang yang patuh atau menghamba masuk kategori gangguan kepribadian ini. Tetapi jika pola ini berlangsung lama dan merusak kualitas hidup, bisa jadi tanda yang perlu diwaspadai.

Lalu bagaimana dengan kecerdasan? Apakah benar orang yang menghamba itu kurang pintar?

Jawabannya tidak sesederhana itu. Banyak orang dengan IQ tinggi yang tetap bisa terjebak dalam sikap menghamba, karena persoalannya bukan sekadar logika atau pengetahuan. Yang lebih berpengaruh adalah kecerdasan emosional (EQ).

Orang dengan EQ tinggi umumnya punya kesadaran diri yang kuat: mereka paham batas-batas diri mereka; Kemampuan mengatur emosi: mereka tidak gampang takut, cemas, atau merasa perlu menyenangkan orang lain berlebihan, Asertivitas: mereka tahu kapan harus patuh dan kapan harus menolak.

Sebaliknya, orang dengan EQ rendah cenderung mengorbankan martabatnya demi rasa aman atau pengakuan.

Menghamba kepada kekuasaan atau uang bisa jadi cerminan dari berbagai faktor—dari tekanan sosial, rendahnya self-efficacy, hingga kurangnya kecerdasan emosional. Tidak selalu berkaitan dengan kecerdasan intelektual.

Namun, psikologi mengajarkan bahwa kita semua bisa mengembangkan diri. Self-efficacy bisa dibangun. EQ bisa dilatih. Menjadi mandiri bukan soal melawan kekuasaan secara membabi buta, melainkan soal memahami nilai diri sendiri dan tidak menyerahkan kendali hidup sepenuhnya kepada orang lain.

Jadi, daripada menghamba, lebih baik belajar percaya pada kemampuan diri.

Penulis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *