Penangkapan Haji Halim-Mana Para Teman Penerima Manfaat?

Ada yang sedikit mengganjal dalam proses penangkapan Haji Halim, pengusaha dan budiman terkenal di Palembang. Dengan reputasi yang dia miliki, terkesan ada “skenario tertentu”, tidak seperti penangkapan orang terkenal yang sering terlihat di media.

Misalnya Hasto, yang mau ditangkap tapi gagal, karena kedatangan KPK telah diantisipasi oleh ratusan orang pengaman, hingga penangkapan itu berujung ricuh. Dalam pengejaran KPK sampai ke lingkungan PTIK di Blok M, aparat kepolisian di lokasi itu malah menangkap balik petugas KPK, diperiksa urin segala. Atau kasus dugaan pencabulan oleh Anak Kiai di Jombang tahun 2022, ketika polisi berupaya menangkap MSA, anak seorang kiai, yang diduga terlibat pencabulan santriwati. Namun, polisi kesulitan karena massa menghadang, melindungi sang anak kiai. Massa yang diduga loyalis dan jamaah ini benar-benar menghalangi proses hukum.

Lah ini Haji Halim—orang terkenal, banyak membantu pendirian rumah ibadah, sering dimintai sumbangan, di rumahnya ramai dengan pengajian—mudah sekali ditangkap. Tidak ada gelombang massa. Tidak ada barisan jamaah yang melindungi. Tidak ada elit lokal yang pasang badan. Kemana orang-orang kerap dibantu? Kemana para handai taulan yang kerap bertandang? Kemana organisasi-organisasi pengajian yang sering mengaji bareng? Kemana para politisi, calon kepala daerah, yang pernah datang berkunjung berharap dukungan? Ya, ini mengundang heran—panggung apa yang sedang terhampar di depan kita?

Kalau kita melihatnya dengan pendekatan Dramaturgical Triangle—sebuah konsep klasik yang memetakan narasi sosial ke dalam tiga peran: Penjahat, Korban, dan Pahlawan—situasi ini menjadi menarik. Biasanya, narasi media (baik media online maupun media sosial) cepat memposisikan seseorang dalam salah satu peran tersebut. Dalam kasus Haji Halim, media massa memberitakan faktual: ia ditetapkan sebagai tersangka, ditahan oleh kejaksaan karena dugaan korupsi lahan. Penjahatnya jelas.

Namun di media sosial, ada satu lapis narasi tambahan. Tidak sedikit netizen yang mengingat jasa-jasanya. Rumah pengajian, derma yang ia salurkan, kontribusinya pada pembangunan lokal. Ini membuat gambaran tentang Haji Halim menjadi tak sesederhana sekadar “tersangka korupsi.” Di sini muncullah Kompleksitas Peran—seorang yang di satu sisi dihukum sebagai “penjahat”, tapi di sisi lain tetap dilihat sebagai “pahlawan” oleh sebagian masyarakat yang merasakan manfaatnya.

Uniknya, tidak ada riak besar di media sosial yang menunjukkan upaya pembelaan terorganisir. Bukan tidak ada yang simpati, tapi semua berlangsung datar, seolah penangkapan ini diterima sebagai bagian dari panggung hukum yang memang sudah disiapkan. Tidak ada barisan massa loyalis yang memaksa narasi untuk berpihak. Justru media sosial cenderung lebih tenang ketimbang kasus-kasus politisi atau tokoh agama tertentu.

Di sinilah kita mulai bertanya-tanya: apakah ini karena karakteristik basis sosial Haji Halim berbeda? Apakah karena ia bukan tokoh politik, bukan kiai besar, sehingga jejaring loyalisnya lebih cair, tidak terstruktur secara militan? Atau karena, seperti yang sering terjadi dalam politik lokal, hubungan patronase itu tak selalu berwujud loyalitas permanen—lebih transaksional, temporer, tergantung situasi?

Penangkapan Haji Halim seperti menghadirkan ironi: semakin banyak bantuan yang ia tebarkan, semakin senyap situasi ketika dirinya terjerat kasus. Apakah ini menunjukkan bahwa dalam masyarakat kita, kedermawanan tidak selalu berbanding lurus dengan soliditas dukungan saat kesulitan melanda? Atau justru ini bagian dari skenario yang lebih besar, di mana panggung hukum memang harus tampil “bersih”, tanpa gangguan eksternal?

Pada akhirnya, peristiwa ini mengingatkan kita bahwa peran dalam panggung sosial tidaklah tetap. Penjahat, korban, pahlawan—semuanya bisa berganti tergantung siapa yang memegang narasi, dan bagaimana publik memaknainya. Haji Halim berada di tengah-tengah segitiga itu, menjadi contoh nyata betapa rumitnya posisi sosial seorang tokoh, terutama ketika hukum, media, dan persepsi publik bertemu di satu titik. Terakhir, demikiankah sesungguhnya karakter masyarakat lokal, LSM: lokak senang maju-lokak saro mundur?

Penulis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *