Aris Munandar
Gas elpiji 3 kg, atau yang lebih dikenal dengan “tabung melon,” telah menjadi sumber energi utama bagi banyak masyarakat Indonesia, terutama yang berpenghasilan rendah. Dengan adanya subsidi pemerintah, gas ini dimaksudkan untuk membantu kelompok masyarakat miskin dalam memenuhi kebutuhan energi mereka sehari-hari. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa distribusi gas ini sering kali tidak tepat sasaran, dengan mayoritas pengguna berasal dari kalangan menengah ke atas. Ironisnya, mereka yang benar-benar membutuhkan subsidi justru sering kali kesulitan dalam mendapatkannya.
Sejak peluncurannya, gas elpiji 3 kg menjadi alternatif yang lebih efisien daripada minyak tanah. Meskipun demikian, kendala muncul karena banyak pihak yang sebenarnya tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan subsidi justru turut memanfaatkannya. Hal ini menyebabkan ketidakadilan, di mana ketersediaan gas untuk masyarakat miskin menjadi terbatas.
Data menunjukkan bahwa gas elpiji 3 kg tidak hanya digunakan oleh rumah tangga, tetapi juga disalahgunakan oleh sektor industri. Misalnya, usaha kecil seperti laundry dan rumah makan sering menggunakan banyak tabung gas sekaligus. Usaha laundry dapat menghabiskan hingga 4 tabung, sedangkan rumah makan bisa menggunakan 5-8 tabung dalam satu waktu. Penggunaan berlebihan ini mencerminkan bahwa subsidi yang seharusnya dikhususkan untuk rumah tangga miskin justru dialihkan ke sektor yang lebih mampu.
Pemerintah telah mencoba mengatasi masalah ini melalui berbagai kebijakan. Salah satunya adalah melarang penjualan gas elpiji 3 kg di pengecer mulai 1 Februari 2025, dan mengarahkan penjualan hanya melalui pangkalan resmi Pertamina. Tujuannya adalah untuk memastikan distribusi gas bersubsidi lebih tepat sasaran dan harga sesuai ketentuan pemerintah. Namun, meski aturan ini sudah jelas, implementasinya di lapangan masih menghadapi banyak kendala, terutama dalam hal pengawasan.
Masalah pengawasan menjadi salah satu tantangan utama. Pengawasan yang lemah dari pihak berwenang, baik pemerintah daerah maupun aparat terkait, membuat pelanggaran penggunaan gas bersubsidi terus berlanjut. Sebagai akibatnya, banyak rumah tangga miskin yang mengalami kesulitan mengakses gas bersubsidi, menciptakan ketidakpuasan di kalangan masyarakat yang seharusnya menjadi penerima manfaat utama.
Masalah terbesar yang dihadapi dalam distribusi gas elpiji 3 kg adalah penyalahgunaannya oleh industri kecil dan sektor usaha menengah. Meskipun batasan penggunaan gas bersubsidi sudah diatur oleh pemerintah, pelanggaran tetap terjadi. Sektor usaha seperti laundry dan restoran sering kali menggunakan gas bersubsidi dalam jumlah besar, mengesampingkan prinsip subsidi yang seharusnya ditujukan bagi masyarakat miskin.
Untuk menyelesaikan permasalahan ini, diperlukan upaya yang lebih serius dari pemerintah dan pihak terkait. Memang dalam pengawasan ini terjadi anomali huku. Penggunaan gas 3 kg diatur melalui beberapa Peraturan Menteri ESDM, namun penerapan di lapangan, siapa pengawas sekaligus penindaknya bila terjadi pelanggaran?
Ini lah yang perlu dilakukan…koordinasi antara instansi terkait…apakah itu polisi pemerintah daerah, atau polisi RI. Memang Langkah ini tidak mudah, tidak semudah membuat secarik kertas yang mengatur lagi-lagi masyarakat rumah tangga. Namun ini lah yang diperlukan agar yang betul-betul digaruk adalah titik dimana gatal terjadi.
Tanpa pengawasan dan penegakan aturan, keadilan dan kemanfaatan program pemerintah menjadi sia-sia.


Tinggalkan Balasan