Zulfikri Sulemen

Sjahrir dan Politik Identitas

Suatu bangsa dalam kehidupan bersamanya senantiasa membutuhkan tuntunan moral yang jelas, yaitu seperangkat nilai ideal untuk dituju. Tuntunan  moral ini berfungsi sebagai suluh penerang dalam kegelapan dan tidakpastian masa depan bangsa tersebut, sebagai penunjuk jalan yang hendak dituju. Dengan demikian, merdeka dari kolonialisme saja belumlah memadai; kemerdekaan negeri-negeri terjajah, kata Hatta, adalah hukum besi sejarah, suatu kemestian, cepat atau lambat. Yang jauh lebih penting adalah bagaimana kemerdekaan itu hendak diisi, hendak dijalankan. Di sinilah suatu bangsa membutuhkan petunjuk yang antara lain dapat digali dari khazanah sejarah bangsa yang bersangkutan, khususnya dari pemikiran para bapak bangsa di masa lalu.

Dalam tahapan pilkada yang berlangsung sekarang ini, kita dihadapkan pada isu-isu dangkal dan sempit yang tidak berkaitan dengan nilai-nilai ideal yang hendak dituju. Bisa dikemukakan, para pemangku kepentingan lebih tertarik membicarakan pelaksanaan pilkada prosedural atau isu-isu praktis untuk kepentingan elektoral masing-masing pihak. Dengan demikian, diksi-diksi sosialisasi pilkada, peningkatan partisipasi pemilih, survei elektibilitas, pencitraan, pemetaan dukungan berbasis kedaerahan, etnis dan agama, politik transaksional, bahkan dukungan uang, telah mewarnai diskursus tentang pilkada hampir setiap hari, termasuk dalam konteks pilkada di Sumsel sekarang ini. Khusus mengenai isu-isu etnis, kedaerahan dan agama (isu-isu sektarian), hal yang dipertanyakan adalah: sampai kapan kita masih bermain-main dengan isu-isu sektarian ini? Setelah hampir seabad Sumpah Pemuda, bukankah seharusnya isu-isu sektarian ini sudah melebur menjadi keindonesiaan yang lebih konkrit?

Berpaling ke Sjahrir

Sutan Sjahrir (19091966) lahir di Padang Panjang, Sumatera Barat, dari ayah berdarah Minang dan beribu dari Natal, Sumatera Utara.  Ayah Sjahrir, …, adalah seorang jaksa kepala untuk pemerintah kolonial dengan tempat tugas berpindah-pindah. Dengan demikian, Sjahrir tergolong anak pejabat tinggi dengan segala priveles yang melekat pada status tinggi ayahnya tersebut. Sjahrir menamatkan pendidikan dasar dan menengah di Medan, lalu menyambung pendidikan menengah atas  di AMS Bandung. Selanjutnya, Sjahrir melanjutkan studinya di pendidikan tinggi hukum di Amsterdam, Negeri Belanda tapi tidak tamat karena kesibukannya sebagai pejuang pergerakan kemerdekaan Indonesia.

Dengan singkat dapat dikemukakan, Sjahrir dan kawan-kawannya sudah sejak di sekolah menengah atas di Bandung melibatkan diri dalam gerakan nasionalis dalam menentang kolonial Belanda. Keterlibatan ini semakin dalam ketika berada di Negeri Belanda melalui organisasi pelajar nasionalis Perhimpunan Indonesia.

Sebagai kesimpulan, di masa lalu bangsa Indonesia pernah memiliki pemimpin/pemikir berhati mulia, yang memimpikan anak bangsa yang bebas dan bermartabat. Sutan Sjahrir, pemimpin/pemikir berhati mulia itu, menghendaki manusia-manusia Indonesia yang lahir, tumbuh dan berkembang dengan bebas, bebas dari paksaan oleh kekuatan-kekuatan dari luar dirinya. Dengan kebebasan yang dimilikinya, manusia-manusia Indonesia akan tumbuh dan berkembang dengan wajar mencapai derjat tertingginya, yaitu manusia berwawasan semesta yang menjunjung tinggi persamaan dan keadilan sesama umat manusia.

Dalam kaitannya dengan pelaksanaan pilkada di Sumsel khususnya, yang dikehendaki oleh Sjahrir adalah bahwa pemilih memiliki kebebasan dalam menentukan pilihannya berdasarkan pertimbangan rasionalnya semata. Dalam pengertian ini tercakup kebebasan dari ikatan-ikatan identitas sempit seperti kedaerahan, suku, kekeluargaan, agama dan lain-lain, termasuk politik uang. Pemimpin yang lahir dari pilihan rasional pemilih akan memunculkan rasa tanggungjawab untuk bersikap amanah, bersumber dari kesadaran bahwa kepemimpinannya akan selalu diawasi oleh para pemilih yang rasional.

Penulis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *