Albar Sentosa Subari
Ketua Peduli Marga Batang Hari Sembilan
Dalam Undang Undang Nomor 22 tahun 1999 diterapkan bahwa ” desa” sebagai kesatuan masyarakat hukum, yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di bawah kabupaten.
Pengertian DESA tersebut jauh berbeda dengan pengertian desa berdasarkan undang undang nomor 5 tahun 79. Hal senada disampaikan oleh Sunatra, dari Fraksi Karya Pembangunan sewaktu menyampaikan pendapat akhir fraksi terhadap Rancangan Undang Undang tentang Pemerintahan Daerah antara lain : semangat keseragaman yang sentralistik yang menjiwai undang undang nomor 5 tahun 79 tentang pemerintahan desa ternyata menyebabkan hilangnya lembaga, institusi setingkat desa beserta Adat istiadat yang bercorak lokal dan mempunyai sifat, karakter yang sesuai dengan masyarakat nya. Hal tersebut telah menimbulkan hilangnya potensi dan sumber kreasi masyarakat dalam mengatasi masalah apa yang terjadi.
Untuk menambah keyakinan bahwa undang undang nomor 5 tahun 79 telah memberikan dampak negatif, penulis akan juga menurunkan pendapat dari Buttu R. Hutapea dari fraksi Partai Demokrasi Indonesia waktu menyampaikan pendapat akhir fraksi mengatakan bahwa undang undang no 5 tahun 79 banyak pranata desa yang telah hidup Beratus tahun di suatu desa digusur begitu saja karena harus disesuaikan dengan undang undang no 5 tahun 79. Padahal harus kita akui bahwa tatanan yang ditetapkan di dalam undang undang tersebut adalah struktur pemerintahan di Jawa yang Agraris. Ketika hal itu diterapkan dalam tatanan adat ( dusun, marga, nagari) di luar Jawa banyak dampak terjadi kesenjangan. Kepala adat ikut tergusur begitu saja karena fungsi dan peranan telah diregulasi ( contoh di Sumatera Selatan fungsi Pasirah yang dulunya penguasa tunggal ( eksekutif, legislatif dan yudikatif) tergusur hanya sebagai pimpinan informal yang tidak memiliki sarana dan prasarana lagi sebagai simbolisasi berkuasa.
Oleh karena itu sebenarnya sangat tidak mengherankan apabila kerusuhan antar etnis di beberapa wilayah Nusantara sering terdengar adanya saling berhadapan sampai berdampak negatif terhadap persatuan dan kesatuan bangsa.
Belajar dari pengalaman tersebut undang undang no 22 tahun 1999 telah merekomendasikan tentang pemerintahan di desa ( dusun ) sebagaimana di atur dalam Bab XI Pasal 93 sampai Pasal 111.
Pasal 94 UU no 22 tahun 1999 merumuskan bahwa Pemerintahan Desa dibentuk Pemerintahan Desa dan Badan Perwakilan Desa terdiri atas Kepala Desa dan perangkat desa ( dapat disebut nama lain)
Pasal 104 undang undang nomor 22 tahun 1999 menyebutkan Badan Perwakilan Desa atau nama lainnya berfungsi mengayomi adat istiadat, membuat Peraturan Desa, menampung dan menyalurkan aspirasinya masyarakat serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Desa ( Dewan Marga pada masanya dulu).
Dengan mengkaji beberapa ketentuan pasal di atas, dapat disimpulkan bahwa pemerintahan terendah itu adalah desa atau nama lainnya ( dusun atau marga sesuai perda kabupaten).
Ketentuan ketentuan tersebut dapat kita analisis dari sudut philosofis, yuridis dan sosiologi.
Philosofis di dalam pembukaan UUD 45 diamanatkan bahwa negara akan mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Mewujudkan masyarakat adil dan makmur salah satunya adalah memberikan kebebasan untuk memilih bentuk pemerintahan terendah nya sendiri sebagaimana yang telah diamanatkan oleh UU no 22 tahun 1999, dengan bahasa tersirat mengingat hak asal usul, serta diberikan nya kebebasan warga masyarakat untuk membentuk putusan desa melalui rapat desa. Selain itu juga menumbuhkan kembangkan eksistensi masyarakat hukum adat dengan usaha melalui pemberdayaan di semua bidang. Eksistensi masyarakat hukum adat dewasa ini selama kurun waktu sentralistik yang dianut UU no 5 tahun 79 terasa terbelenggu yang mengakibatkan masyarakat apatis karena selalu menerima arahan dari atas, sehingga kreativitas untuk berfikir tidak berjalan. Dengan pemberdayaan masyarakat diharapkan unsur cipta, karsa dan rasa dapat terwujud sesuai dengan kebutuhan masyarakat masing-masing.
Kajian sosiologi, kalau kita mau menyikapi keinginan rakyat secara jujur mereka tentunya menginginkan kehidupan yang layak. Untuk mencapai kehidupan yang layak tersebut maka salah satunya adalah melibatkan mereka dalam proses pembangunan. Masyarakat dijadikan subjek pembangunan, antara lain mengembalikan hak hak mereka yang selama ini mereka nikmati atau setidaknya mereka diajak musyawarah untuk membangun lingkungan nya. Bukan untuk sekelompok manusia atau golongan saja yang dapat menikmati kekayaan negara. Berimigrasi penduduk desa pergi ke kota salah satu faktor karena kehidupan di desa tidak dapat menjanjikan untuk hidup layak, dengan modal serta minim segala nya ( pendidikan), mereka mengadu nasib di kota besar, bagi mereka yang tidak beruntung akan menjadikan masalah baru di kota.
Kajian yuridis, Pasal 18 UUD 45 ( naskah asli) berbunyi Pembagian daerah Indonesia atas dasar besar dan kecil’, dengan bentuk susunan pemerintahan nya ditetapkan dengan undang-undang dengan memandang dan mengingat dasar permusyawatan dalam sistem pemerintahan negara dan hak hak asal usul dalam daerah daerah yang bersifat istimewa. Makna dalam pasal 18 ini memberikan ketentuan bahwa di dalam penyusunan pemerintahan Terendah dilakukan musyawarah mufakat dengan memperhatikan hak asal usul masyarakat setempat. Hal ini telah dimuat dalam beberapa ketentuan UU no 22 tahun 1999, tinggal lagi bagaimana kemauan politik penyelenggaraan negara di level pusat, propinsi dan kabupaten untuk merealisasikan itu..
Kesempatan ini sebagai contoh di Sumatera Barat mereka sudah kembali ke sistem nagari.
Sayang kita di Sumatera Selatan terlambat untuk melakukan perubahan penyesuaian dengan nya ( terbuka nya pintu sentralistik menuju ke era otonomi daerah).
Hal ini sebenarnya masih diberi kesempatan oleh undang-undang tentang desa yang baru . Untuk membentuk yang namanya Desa Adat di samping Desa Dinas.


Tinggalkan Balasan