Gagal Paham Stigma Sekular

Isu sekularisme kerap kali muncul dalam wacana politik Indonesia, terutama saat momen-momen penting seperti Pemilihan Presiden 2019 dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2017. Tuduhan “sekular” dilayangkan kepada beberapa figur politik dan pendukungnya, terutama kepada mereka yang mendukung Joko Widodo (Jokowi) dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Cap ini sering kali dikaitkan dengan pandangan bahwa para pendukung tersebut tidak memprioritaskan agama atau bahkan dianggap atheis. Namun, pandangan semacam ini tidak hanya menyesatkan tetapi juga berbahaya, terutama bagi perkembangan intelektual dan ruang kebebasan berpikir di Indonesia.

Secara etimologi, sekularisme berasal dari kata Latin saeculum yang berarti “zaman” atau “dunia”. Sekularisme pertama kali dikenal dalam pemikiran politik barat sebagai upaya pemisahan antara urusan agama dan urusan negara. Salah satu pakar yang sering dikutip dalam konteks sekularisme adalah John Locke, seorang filsuf Inggris abad ke-17 yang dalam karyanya Letter Concerning Toleration menekankan pentingnya toleransi beragama dan pemisahan antara otoritas gereja dan negara. Locke percaya bahwa setiap individu memiliki hak untuk beragama secara pribadi tanpa intervensi negara.

Ahli lain yang berkontribusi terhadap pemahaman sekularisme adalah filsuf Perancis, Jean-Jacques Rousseau, dan filsuf Jerman, Immanuel Kant. Rousseau dalam The Social Contract menggarisbawahi pentingnya perjanjian sosial yang tidak didasarkan pada agama tertentu tetapi lebih kepada kehendak umum rakyat. Sementara itu, Kant menekankan otonomi moral individu yang tidak tergantung pada doktrin keagamaan tertentu. Pandangan para ahli ini kemudian diadopsi di banyak negara, khususnya di Eropa dan Amerika Serikat, sebagai dasar pembangunan negara yang sekular.

Sementara bagi Kant, agama dan negara harus dipisahkan untuk menjaga kebebasan individu dan otonomi moral. Dalam pandangannya, agama seharusnya menjadi urusan pribadi setiap orang dan tidak boleh dipaksakan oleh negara. Kant menekankan pentingnya kebebasan berpikir dan berkeyakinan, di mana negara tidak boleh mencampuri hal-hal yang bersifat spiritual atau keagamaan. Bagi Kant, hukum moral yang mendasari tatanan sosial harus didasarkan pada prinsip-prinsip rasional yang dapat diterima oleh semua orang, terlepas dari keyakinan agama mereka, sehingga tercipta masyarakat yang adil dan beradab.

Tuduhan sekularisme menjadi isu hangat dalam Pemilihan Presiden 2019, terutama terhadap Jokowi dan para pendukungnya. Kelompok-kelompok tertentu mengaitkan Jokowi dengan sekularisme karena kebijakan-kebijakan pemerintahannya yang dianggap terlalu berpihak pada pluralisme dan cenderung mengesampingkan kepentingan umat Islam. Hal ini diperburuk dengan pengaruh media sosial yang penuh dengan narasi konspiratif, di mana Jokowi dicap sebagai “anti-Islam” oleh lawan-lawan politiknya.

Sebelumnya, tuduhan serupa muncul pada Pilkada DKI Jakarta 2017. Ahok, sebagai petahana, kerap dikaitkan dengan sekularisme karena latar belakangnya sebagai seorang Tionghoa Kristen yang memimpin Jakarta, kota dengan mayoritas penduduk Muslim. Beberapa kelompok Islam menggunakan narasi sekularisme untuk menolak kepemimpinan Ahok. Ahok dicap sebagai figur sekular yang tidak cocok memimpin kota Muslim karena dinilai mengesampingkan nilai-nilai agama dalam kebijakan-kebijakannya.

Narasi sekularisme yang dibawa dalam dua momen politik besar ini menunjukkan bahwa isu agama tetap menjadi alat politik yang kuat di Indonesia. Sebagian besar tuduhan ini bersifat peyoratif dan digunakan untuk menciptakan polarisasi di masyarakat.

Meski banyak yang dicap sebagai sekular, faktanya tidak semua individu yang disematkan label ini adalah orang yang anti-agama atau atheis. Banyak tokoh di Indonesia yang rajin beribadah tetapi tetap mengusung prinsip sekular dalam kehidupan bernegara. Salah satu contohnya adalah Gus Dur (Abdurrahman Wahid), mantan presiden Indonesia dan seorang tokoh Muslim terkemuka. Meski Gus Dur dikenal sebagai seorang kiai yang taat, ia juga mengusung prinsip-prinsip sekular dalam kepemimpinannya, terutama dalam upaya menjaga pluralisme dan keberagaman agama di Indonesia.

Tokoh lain adalah Prof. Yudi Latif, seorang intelektual Muslim yang sering membahas tentang pentingnya memisahkan antara agama dan negara dalam konteks Indonesia yang multikultural. Yudi Latif menegaskan bahwa sekularisme dalam konteks Indonesia bukanlah anti-agama, tetapi sebuah pendekatan untuk memastikan negara tidak mendiskriminasi warganya berdasarkan agama.

Nurcholish Madjid, tokoh intelektual muslim, mengemukakan pentingnya menjadikan agama sebagai landasan moral dan etis tanpa menjadikannya alat politik. Ia mempopulerkan gagasan Islam Yes, Partai Islam No, yang menekankan bahwa agama, khususnya Islam, adalah urusan pribadi dan spiritual, bukan politik praktis.

Stigma sekular memiliki dampak yang merugikan bagi kehidupan intelektual di Indonesia. Cap ini menimbulkan ketakutan di kalangan akademisi dan intelektual yang berusaha memisahkan analisis ilmiah dari keyakinan agama mereka. Dalam lingkungan yang penuh kecurigaan terhadap sekularisme, mereka sering kali dibungkam atau bahkan dianggap “kurang religius” jika gagasan mereka tidak mencerminkan pandangan keagamaan tertentu.

Stigma ini juga menghambat perkembangan kebebasan berpikir di Indonesia. Ketika suatu pandangan atau kebijakan dilabeli sebagai “sekular”, ia sering kali langsung ditolak tanpa analisis lebih lanjut. Padahal, gagasan sekularisme sebenarnya memberikan ruang bagi diskusi dan perbedaan pendapat yang sehat. Misalnya, kebijakan terkait hak-hak minoritas atau upaya untuk menjaga netralitas negara dalam hal agama sering kali dicap sebagai “sekular” dan langsung ditentang oleh kelompok-kelompok yang lebih konservatif.

Stigma sekularisme juga memperkuat polarisasi di masyarakat. Ketika suatu kelompok dicap sebagai sekular, mereka sering kali menjadi sasaran serangan yang sifatnya personal dan tidak rasional. Hal ini menghambat dialog yang konstruktif antara kelompok yang berbeda pandangan, karena perdebatan menjadi didominasi oleh emosi dan kecurigaan.

Dalam kehidupan sosial dan politik, stigma sekular di Indonesia sering kali disalahgunakan untuk menjelekkan pihak lain yang memiliki pandangan berbeda, terutama dalam konteks politik. Tuduhan ini tidak hanya mencederai reputasi individu, tetapi juga merusak ruang intelektual yang seharusnya bebas dari prasangka dan stigma. Masyarakat perlu memahami bahwa sekularisme bukanlah ancaman bagi agama, tetapi justru sebuah cara untuk menjamin kebebasan beragama dan pluralisme. Sebagai negara yang beragam, Indonesia membutuhkan diskusi yang lebih rasional dan inklusif, di mana semua pandangan dihormati tanpa harus diberi cap negatif.

Penulis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *