Cukong politik adalah narasi yang kerap didengungkan, baik dalam diskusi akademik maupun percakapan publik. Di Indonesia, terutama dalam era kepemimpinan Presiden Jokowi, istilah “cukong politik” menjadi semakin lazim. Cukong di sini merujuk pada konglomerat atau pemodal besar yang memiliki pengaruh signifikan dalam proses politik, baik dalam mendanai kampanye, memengaruhi kebijakan, hingga mengendalikan arah pemerintahan. Meskipun narasi tentang politik tanpa cukong kerap dianggap sebagai sesuatu yang ideal, kenyataannya, politik modern—baik di Indonesia maupun di banyak negara lain—tidak dapat sepenuhnya terpisah dari kekuatan modal.
Secara akademik, konsep cukong politik dapat dikaitkan dengan teori patron-client. Dalam hubungan patron-klien, pihak yang memiliki sumber daya (patron) memberikan dukungan finansial atau perlindungan kepada klien (dalam hal ini politisi atau partai), dan sebagai imbalannya, klien akan memenuhi kepentingan patron dalam kebijakan atau keputusan politik. Model ini sangat umum di berbagai negara berkembang, termasuk Indonesia.
Dalam konteks politik modern, cukong tidak hanya terbatas pada individu kaya. Mereka bisa berasal dari konglomerat besar, perusahaan multinasional, atau bahkan organisasi internasional yang memiliki kepentingan tertentu. Mereka tidak hanya memberikan dana untuk kampanye politik, tetapi juga untuk kegiatan-kegiatan politik lainnya seperti diskusi publik, demonstrasi, hingga penggalangan massa. Ini membuat keberadaan cukong hampir tidak terelakkan dalam politik kontemporer.
Cukong politik bukan hanya fenomena yang terjadi di Indonesia. Di Amerika Serikat, peran lobi perusahaan besar dalam memengaruhi kebijakan politik sangat kentara. Salah satu contoh yang paling mencolok adalah pengaruh perusahaan farmasi dan asuransi dalam proses perumusan kebijakan kesehatan. Pada masa pemerintahan Presiden Obama, ketika Affordable Care Act atau Obamacare diperkenalkan, perusahaan-perusahaan farmasi dan asuransi kesehatan memberikan dukungan keuangan kepada politisi tertentu, dengan harapan agar kebijakan tersebut menguntungkan industri mereka.
Di negara lain, seperti Filipina, peran cukong politik juga terlihat jelas. Pada masa pemerintahan Ferdinand Marcos, dukungan dari konglomerat besar seperti keluarga Cojuangco memainkan peran penting dalam mempertahankan kekuasaan politiknya. Sebagai imbalan, konglomerat-konglomerat ini mendapatkan keuntungan ekonomi yang signifikan, termasuk akses eksklusif terhadap kontrak pemerintah dan kebijakan ekonomi yang menguntungkan.
Bahkan di negara maju seperti Inggris, cukong politik tidak asing. Skandal donasi politik yang melibatkan partai politik di Inggris sering kali memperlihatkan bagaimana perusahaan besar dan individu kaya memberikan sumbangan besar untuk memengaruhi kebijakan pemerintah. Skandal donasi politik ini pada tahun 2020 yang melibatkan Partai Konservatif. Beberapa perusahaan besar dan individu kaya, termasuk pengusaha properti Richard Desmond, memberikan sumbangan besar kepada partai tersebut. Desmond diketahui menyumbang £12.000 setelah menghadiri acara makan malam penggalangan dana dengan Perdana Menteri Boris Johnson. Tujuan dari donasi ini diduga untuk memengaruhi keputusan pemerintah terkait pembangunan properti besar yang diajukan Desmond di London Timur. Setelah sumbangan itu, proyek properti senilai miliaran pound yang diajukan Desmond mendapat persetujuan dari pemerintah, meskipun ada penolakan dari otoritas lokal.
Tidak hanya dalam konteks kampanye pemilihan umum, keberadaan cukong juga dapat dilihat dalam kegiatan-kegiatan politik lainnya, seperti demonstrasi mahasiswa atau diskusi publik. Banyak orang percaya bahwa gerakan-gerakan ini murni hasil dari partisipasi masyarakat yang didorong oleh idealisme. Namun, apakah realistis untuk berpikir bahwa unjuk rasa besar-besaran atau diskusi yang melibatkan berbagai tokoh nasional bisa berjalan tanpa biaya yang signifikan?
Demonstrasi mahasiswa, misalnya, memerlukan dana untuk transportasi, makanan, bahkan logistik lainnya. Diskusi publik yang melibatkan narasumber, penyediaan tempat, serta fasilitas pendukung juga membutuhkan biaya besar. Sumber dana ini sering kali tidak berasal dari swadaya atau gotong royong semata, melainkan dari dukungan pihak-pihak tertentu yang memiliki kepentingan politik. Di sinilah cukong kembali memainkan peran penting.
Sebagai contoh, demonstrasi mahasiswa di Amerika Serikat menentang kebijakan pemerintah sering kali didukung oleh organisasi nirlaba yang pada akhirnya juga didanai oleh donatur-donatur besar. Di Indonesia sendiri, tidak jarang gerakan protes mahasiswa disponsori secara diam-diam oleh kelompok bisnis atau politisi yang ingin menggoyang pemerintahan yang sedang berkuasa.
Dengan semua contoh di atas, kita bisa melihat bahwa politik tanpa cukong adalah narasi yang sulit dipercaya. Dalam setiap level politik, dari kampanye pemilihan hingga demonstrasi dan diskusi publik, hampir selalu ada kepentingan finansial yang terlibat. Idealisme politik yang berusaha untuk menjauhkan diri dari cukong sering kali tidak realistis dan lebih merupakan utopia daripada kenyataan.
Menghapus cukong dari politik berarti juga menghapus modal dari politik, dan ini bukan hanya sulit, tapi hampir mustahil dalam konteks politik modern. Dunia politik, seperti halnya sektor lain dalam masyarakat, bergantung pada dana untuk bergerak maju. Tanpa dana, tidak ada kampanye, tidak ada diskusi, tidak ada demonstrasi.
Politik tanpa cukong musti didukung dengan fakta, terjadi kapan-dimana-oleh siapa. Fakta yang diketahui, politik selalu mendapat partisipasi modal dan kepentingan para pemodal. Hubungan antara patron dan klien sudah menjadi bagian integral dari sistem politik modern di banyak negara. Baik itu dalam kampanye politik, diskusi publik, maupun demonstrasi, cukong memainkan peran penting dalam mendukung aktivitas politik. Dengan demikian, narasi tentang politik tanpa cukong hanya menipu publik yang dibungkus dengan narasi idea yang luhur.


Tinggalkan Balasan