Lilik Bagus Setiawan
Advokat, Mantan Aktivis TPDI Sumsel
Ada masanya kita percaya bahwa idealisme bisa mengubah dunia. Bahwa mahasiswa, NGO, dan para aktivis yang kritis adalah pilar terakhir kejujuran dalam negeri yang penuh intrik ini. Mereka turun ke jalan, berorasi, menuntut keadilan, mengangkat poster dengan wajah-wajah serius, menolak lupa, dan meneriakkan “Hidup rakyat!” dengan semangat membara. Tapi kemudian, setelah sekian lama, kita mulai bertanya: “Lho, mana hasilnya?”
Sayangnya, idealisme itu sering kali seperti makanan ringan: enak di awal, tapi nggak bikin kenyang. Akhirnya, banyak dari mereka yang dulu berteriak lantang, kini duduk manis di kursi empuk kekuasaan sambil menyeruput kopi mahal. Bukannya meneruskan perjuangan, mereka malah sibuk bernegosiasi tentang proyek ini-itu.
Seharusnya gerakan sosial moral dan reformasi tetap berada di jalur yang sama. Tapi, entah kenapa, begitu mencium aroma kekuasaan, banyak yang mendadak lupa caranya mengkritik. Dahulu mereka menyerukan “Turunkan rezim!” Kini mereka bilang, “Mungkin lebih baik kita duduk dan berdiskusi baik-baik.” Oh, begitu ya?
Akhirnya, kita menyaksikan sistem pemerintahan—dari eksekutif, legislatif, hingga yudikatif—berubah menjadi ajang kongkalikong, lebih mirip drama sinetron daripada institusi negara. Masyarakat? Ah, cukup dikasih sembako pas musim pemilu, langsung beres.
Kecewa? Jelas. Dulu kita kira perubahan itu mungkin, tapi ternyata yang berubah cuma harga sembako dan pajak rokok. Para aktivis yang dulunya garang sekarang malah sibuk menata dasi dan menyesap kopi di meja perundingan. Yang dulu menolak kekuasaan, kini berebut kursi kekuasaan. Yang dulu bersumpah setia pada rakyat, sekarang setia pada rekening bank masing-masing.
Lalu, haruskah kita menyerah? Tentu tidak! Kalau nggak bisa mengubah sistem dari dalam, minimal kita bisa jadi penonton setia komedi politik yang selalu menyajikan plot twist tak terduga. Kita bisa tetap kritis, tetap mengeluh, dan tetap berharap. Siapa tahu, suatu hari nanti, ada yang benar-benar berjuang tanpa tergoda fasilitas negara. Meskipun, yah, jangan terlalu berharap. Soalnya, harapan di negeri ini sering kali seperti promo diskon: kelihatan besar, tapi syarat dan ketentuannya berlaku.
Jadi, mari kita tetap waspada, tetap kritis, dan yang paling penting: tetap tertawa. Karena kalau tidak bisa menangis, tertawa adalah satu-satunya opsi yang tersisa.


Tinggalkan Balasan