Sebetulnya saya ingin menyebut nama Jokowi, Ahok, Anies Baswedan dan Menteri PU Basuki. Karena di sinilah pertarungan dua kubu antara faktor politik dan faktor teknokratis dalam perumusan kebijakan publik. Dari nama-nama ini juga kita belajar tentang wawasan ke masa depan, siapa sesungguhnya yang berakal menerawang masa depan-dan siapa yang semata memenuhi ambisi kekuasaan. Akhirnya juga faktor politik tetap mendominasi, tanpa peduli akan kemampuan meramal masa depan. Tapi tidaklah…menyebut nama-nama itu berat muatan politik…bagaimana pun lalat tak pernah mau dibilang bahwa kembang lebih baik daripada sampah, lagi pula ini cerita di negeri Konoha atau di Suriname sana.
Pak Raden, kepala desa yang terkenal dengan kumisnya yang lentik bak bulan sabit, menatap genangan air di depan balai desa. Airnya sudah selutut, dan makin lama makin naik. Anak-anak berlarian di tengah air, tertawa riang seolah sedang bermain di kolam renang raksasa yang gratis. Pak Raden menghela napas. Banjir lagi.
“Ini sudah tahun ke sekian, ya, Pak Lurah?” tanya Bu Darmi, sambil menunjuk ke arah air yang mulai merendam warungnya. Warungnya memang selalu jadi korban setia setiap banjir datang.
Pak Raden hanya mengangguk lesu. Ia sudah hafal skripnya: “Ya, Bu, ini memang ujian dari Yang Maha Kuasa. Kita harus sabar dan tawakal.” Itulah mantra andalannya setiap banjir datang. Lebih mudah menyalahkan alam daripada mengakui kegagalan sistem drainase desa yang sudah berumur seabad lebih.
Di kantor kecamatan, Pak Camat sedang asyik bermain catur online. Suara deru air hujan yang mengguyur deras di luar tak mengganggunya sedikit pun. Ia sudah terbiasa. Banjir adalah bagian dari siklus alam, katanya. Sama seperti siklus rapat yang tak pernah ada habisnya. Lagipula, apa yang bisa dia lakukan? Anggaran untuk perbaikan drainase selalu dipotong untuk proyek-proyek lain yang lebih “urgent,” seperti pembangunan gazebo di taman kecamatan.
Di kantor bupati, situasi lebih dramatis. Pak Bupati sedang sibuk berfoto bersama para pejabat dari provinsi, berlatar belakang pemandangan sawah yang hijau subur. Foto itu akan diunggah ke media sosial, sebagai bukti kesuksesan program pertanian organik. Banjir? Ah, itu urusan dinas PUPR. Lagipula, banjir kan cuma terjadi di daerah-daerah terpencil. Di daerah elit, kan, aman.
Di kantor dinas PUPR, para pegawai sedang sibuk rapat. Rapat membahas desain taman baru di depan kantor. Rencananya, taman itu akan dilengkapi dengan air mancur yang megah dan lampu-lampu LED yang berwarna-warni. Banjir? Ah, itu urusan cuaca. Mereka sudah membuat laporan, kok, bahwa curah hujan memang tinggi tahun ini. Laporan itu tebalnya selayaknya kamus besar Bahasa Indonesia, lengkap dengan diagram dan grafik yang rumit. Sayangnya, tak satu pun dari diagram dan grafik itu yang menjelaskan solusi praktis untuk mengatasi banjir.
Pak Karto, seorang petani tua yang rumahnya selalu terendam banjir, hanya bisa menggaruk-garuk kepala. Ia sudah berulang kali mengusulkan pembuatan saluran irigasi baru, tetapi usulannya selalu terabaikan. “Mereka sibuk mengurusi hal-hal yang tak penting,” gumamnya. “Banjir ini sudah jadi tradisi tahunan. Seperti tradisi korupsi yang tak pernah hilang.”
Ibu Ani, seorang guru SD, terpaksa libur mengajar karena sekolahnya terendam banjir. Ia hanya bisa menatap air yang menggenangi halaman sekolah, sambil memikirkan nasib murid-muridnya yang terpaksa belajar di rumah, atau mungkin malah tak belajar sama sekali. “Seharusnya pemerintah lebih peduli,” katanya. “Banjir ini bukan cuma masalah alam, tetapi juga masalah manajemen dan tanggung jawab.”
Di media sosial, netizen ramai mengunggah foto-foto banjir dengan tagar #Banjir lagi #IndonesiaBanjir #PemerintahMana. Ada yang bercanda, ada yang marah, ada yang sedih. Tetapi, tak ada satu pun tanggapan resmi dari pemerintah. Pemerintah sibuk dengan hal-hal lain yang lebih penting, seperti mengklarifikasi berita hoax dan membalas komentar di media sosial.
Banjir terus menggenang. Airnya semakin tinggi. Pak Raden masih menatap air dengan tatapan kosong. Ia masih berharap hujan segera berhenti. Ia masih berharap keajaiban. Ia masih berharap, entah siapa, yang akan peduli dengan banjir. Ia masih berharap, entah kapan, pemerintah akan merasa bertanggung jawab. Ia masih berharap… dan berharap… dan berharap… sambil menunggu air surut dengan sabar dan tawakal. Karena, siapa peduli banjir?
Lebih lucu lagi, kinerja tertinggi adminstratur pemerintah adalah produksi alasan…terjadi anomali cuaca, pancaroba cuaca, indonesia seperti baskom, palembang seperti kuali, seolah dengan alasan-alasan itu banjir wajar terjadi, tidak boleh dikeluhkan dan jangan harap penyelesaian…..


Tinggalkan Balasan