Pluralisme: Lain di Bibir-Lain di Kelakuan

Di era globalisasi ini, keberagaman bukan lagi sesuatu yang bisa dihindari. Kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, dan Palembang mencerminkan kompleksitas sosial yang terdiri dari berbagai suku, agama, budaya, dan latar belakang ekonomi. Masyarakat yang dulunya lebih homogen kini harus beradaptasi dengan perbedaan yang semakin nyata di ruang publik.

Khususnya di Palembang, keberagaman ini tampak jelas dalam kehidupan sehari-hari. Kota ini menjadi rumah bagi beragam kelompok etnis seperti Melayu, Tionghoa, Jawa, Arab, dan komunitas-komunitas lainnya yang telah hidup berdampingan selama berabad-abad. Belum lagi faktor pilihan politik, ada pemillih partai kiri, partai kanan, partai Tengah (moderat) dll. Namun, meskipun keberagaman tampak harmonis di permukaan, tetap ada gesekan sosial yang muncul akibat perbedaan nilai, keyakinan, atau bahkan faktor dominasi.

Keberagaman ini memunculkan satu pertanyaan penting: bagaimana masyarakat bisa hidup berdampingan dengan damai tanpa mengorbankan identitas masing-masing? Salah satu jawabannya adalah pluralisme. Namun, apakah pluralisme benar-benar mudah diterapkan dalam praktik kehidupan sehari-hari?

Gagasan tentang pluralisme bukanlah hal baru. Pemikiran ini telah berkembang sejak lama dalam filsafat dan ilmu sosial. Salah satu pemikir awal yang berbicara tentang pluralisme adalah John Locke, yang dalam karyanya “A Letter Concerning Toleration” menekankan pentingnya toleransi beragama dalam kehidupan bernegara. Ia berargumen bahwa kebebasan beragama adalah fondasi utama dalam menciptakan masyarakat yang stabil dan damai.

Di abad ke-20, pemikiran tentang pluralisme semakin berkembang, terutama dalam konteks demokrasi dan hak asasi manusia. Charles Taylor, seorang filsuf asal Kanada, berpendapat bahwa masyarakat modern harus mampu mengakomodasi berbagai identitas budaya agar tidak terjadi marginalisasi terhadap kelompok minoritas. Sementara itu, Bhikhu Parekh, seorang filsuf politik, menekankan bahwa pluralisme bukan hanya soal menerima perbedaan, tetapi juga mengakui dan menghargainya dalam struktur sosial dan politik.

Pemikiran ini juga diterapkan dalam konteks Indonesia. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), salah satu tokoh pluralisme di Indonesia, berulang kali menegaskan bahwa kebinekaan adalah kekuatan utama bangsa. Ia berpendapat bahwa Islam dan demokrasi bisa berjalan beriringan dalam suasana pluralistik, tanpa harus saling meniadakan.

Pluralisme sering disalahartikan sebagai sekadar keberagaman atau toleransi. Padahal, pluralisme memiliki makna yang lebih dalam. Menurut Diana L. Eck, seorang akademisi yang banyak meneliti pluralisme agama, pluralisme bukan hanya tentang keberadaan kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat, tetapi lebih kepada bagaimana kelompok-kelompok ini berinteraksi secara aktif dan saling memahami.

Dengan kata lain, pluralisme bukan hanya menerima keberagaman sebagai fakta sosial, tetapi juga berusaha menciptakan ruang dialog dan kerja sama di antara kelompok-kelompok yang berbeda. Dalam konteks Indonesia, pluralisme bisa dilihat dalam bentuk upaya membangun toleransi antaragama, kerjasama lintas budaya, serta pengakuan terhadap hak-hak minoritas.

Namun, ada perbedaan mendasar antara pluralisme dan relativisme. Pluralisme tidak berarti semua nilai dan keyakinan dianggap sama, tetapi lebih pada bagaimana kita bisa hidup berdampingan dengan perbedaan tersebut tanpa harus memaksakan keseragaman.

Mengadopsi pluralisme dalam kehidupan sosial memiliki konsekuensi yang kompleks. Di satu sisi, pluralisme bisa membawa manfaat besar bagi masyarakat, seperti misalnya untuk stabilitas sosial. Masyarakat yang pluralis cenderung lebih stabil karena ada mekanisme dialog dan toleransi yang lebih kuat. Manfaat lainnya dari sisi inovasi dan kemajuan. Keberagaman latar belakang budaya dan pemikiran bisa menjadi sumber inovasi dalam berbagai bidang, termasuk ekonomi dan teknologi.

Namun, ada juga tantangan besar yang harus dihadapi dalam penerapan pluralisme, antara lain resistensi dari kelompok konservatif (kolot/kuno). Tidak semua kelompok sosial terbuka terhadap pluralisme. Beberapa pihak mungkin melihat pluralisme sebagai ancaman terhadap identitas atau nilai-nilai tradisional mereka. Lalu terjadinya segregasi Sosial. Meskipun pluralisme mengajarkan hidup berdampingan, dalam praktiknya masih banyak kelompok yang lebih memilih hidup dalam komunitasnya sendiri tanpa banyak berinteraksi dengan kelompok lain. Bahkan dalam beberapa kasus, pluralism dimanfaatkan untuk kepenentingan politik yang memperdalam perbedaan alih-alih menciptakan persatuan. Ini kerap disebut politik identitas.

Pluralisme gampang sekali diucapkan atau disetujui. Siapa yang tidak ingin hidup di masyarakat yang damai, saling menghormati, dan bekerja sama? Namun, dalam praktiknya, pluralisme jauh lebih sulit diterapkan.

Salah satu tantangan terbesar adalah bagaimana menyeimbangkan antara menghormati perbedaan dan menjaga persatuan. Dalam beberapa kasus, pluralisme bisa berbenturan dengan tradisi atau nilai-nilai yang sudah mengakar kuat di suatu komunitas. Misalnya, meskipun konstitusi Indonesia menjamin kebebasan beragama, masih ada kelompok minoritas yang menghadapi diskriminasi dalam kehidupan sehari-hari.

Selain itu, faktor ekonomi dan politik juga memainkan peran penting dalam menentukan sejauh mana pluralisme bisa diterapkan. Ketimpangan sosial dan ekonomi sering kali menjadi hambatan dalam membangun masyarakat yang benar-benar pluralis. Jika ada kelompok yang merasa terpinggirkan secara ekonomi, mereka cenderung melihat kelompok lain sebagai pesaing atau ancaman, bukan sebagai bagian dari keragaman yang harus dihormati.

Di tingkat individu, pluralisme menuntut keterbukaan, empati, dan kemauan untuk berdialog. Namun, ini bukan sesuatu yang mudah dilakukan, terutama jika seseorang tumbuh dalam lingkungan yang homogen atau memiliki prasangka terhadap kelompok lain. Pendidikan dan pengalaman langsung dalam berinteraksi dengan kelompok yang berbeda menjadi faktor kunci dalam membentuk sikap pluralis.A

Akhirnya, pluralisme adalah konsep yang sangat relevan dalam kehidupan modern, terutama di negara seperti Indonesia yang memiliki keberagaman luar biasa. Secara teori, hampir semua orang bisa menerima ide pluralisme. Namun, dalam praktiknya, pluralisme menghadapi banyak tantangan, baik dari segi sosial, ekonomi, maupun politik.

Agar pluralisme bisa benar-benar menjadi bagian dari kehidupan masyarakat, dibutuhkan upaya berkelanjutan dalam membangun dialog, mengurangi ketimpangan sosial, serta menanamkan nilai-nilai keterbukaan dan toleransi sejak dini. Tanpa langkah konkret, pluralisme hanya akan menjadi slogan yang mudah disetujui, tetapi sulit diwujudkan dalam realitas sehari-hari.

Penulis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *