Hukuman mati selalu menjadi topik panas di Indonesia, terutama ketika menyangkut kasus narkotika, terorisme, dan belakangan ini, korupsi. Setiap kali seorang terpidana mati dieksekusi, muncul kembali perdebatan di masyarakat: apakah hukuman mati masih relevan di zaman sekarang? Sejumlah tokoh dan organisasi mendukungnya, sementara yang lain menentangnya dengan alasan hak asasi manusia.
Pendukung hukuman mati berargumen bahwa hukuman ini memberikan efek jera bagi para pelaku kejahatan berat. Presiden Joko Widodo, misalnya, menolak memberikan grasi bagi para terpidana narkotika dengan alasan Indonesia dalam kondisi “darurat narkoba” (Kompas, 2015). Selain itu, hukuman mati dianggap sebagai bentuk keadilan bagi korban dan masyarakat. Dalam kasus korupsi, Prabowo Subianto pernah menyatakan bahwa hukuman mati pantas diberikan kepada para koruptor yang menghabiskan uang rakyat (Debat Pilpres, 2019).
Para pendukung juga menyoroti efektivitas hukuman mati dalam mengurangi kejahatan berat. Negara-negara seperti Tiongkok dan Arab Saudi masih menerapkan hukuman ini dan mengklaim adanya dampak positif terhadap penurunan kejahatan. Di Indonesia, meskipun belum ada data konkret mengenai dampaknya, banyak yang percaya bahwa hukuman mati tetap diperlukan sebagai instrumen hukum yang tegas.
Di sisi lain, kelompok yang menolak hukuman mati berargumen bahwa hukuman ini melanggar hak asasi manusia dan tidak selalu efektif dalam mencegah kejahatan. Amnesty International (2020) menyatakan bahwa banyak negara yang telah menghapus hukuman mati justru tidak mengalami peningkatan kriminalitas. Di Indonesia, Komnas HAM juga menentang hukuman mati dengan alasan bahwa sistem peradilan masih memiliki celah kesalahan, sehingga ada risiko menghukum orang yang tidak bersalah (Komnas HAM, 2021).
Selain itu, beberapa studi menunjukkan bahwa hukuman seumur hidup dengan kerja sosial bisa menjadi alternatif yang lebih manusiawi dan tetap memberikan efek jera. Dalam kasus korupsi, misalnya, perampasan aset koruptor untuk mengembalikan uang negara dinilai lebih efektif daripada hukuman mati, yang hanya mengakhiri hidup tanpa mengembalikan kerugian negara.
Beberapa tokoh nasional dan internasional juga menentang hukuman mati. Gus Dur, misalnya, sejak lama dikenal sebagai penolak hukuman mati, dengan alasan bahwa setiap manusia berhak mendapat kesempatan kedua (Gus Dur, 2002). Sementara itu, mantan Ketua KPK, Abraham Samad, lebih menekankan pada hukuman perampasan aset bagi koruptor daripada eksekusi mati. “Lebih baik kita miskinkan mereka daripada membunuh mereka,” ujarnya dalam sebuah wawancara (Tempo, 2019).
Dalam beberapa tahun terakhir, wacana hukuman mati bagi koruptor semakin menguat, terutama ketika kasus korupsi besar terungkap. Beberapa politisi mendukung gagasan ini, termasuk Megawati Soekarnoputri yang pernah menyatakan bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa yang harus ditindak keras (PDIP Congress, 2020). Namun, di sisi lain, para pakar hukum mengingatkan bahwa penerapan hukuman mati bagi koruptor memerlukan revisi besar terhadap sistem hukum Indonesia.
Selain hukuman mati, perampasan aset menjadi solusi yang lebih banyak didukung. Skema ini memungkinkan negara mengambil kembali kekayaan yang diperoleh dari hasil korupsi dan menggunakannya untuk kepentingan publik. Beberapa negara telah menerapkan mekanisme ini dengan sukses, dan Indonesia mulai mempertimbangkan langkah serupa dalam revisi UU Tipikor.
Di media sosial, perdebatan soal hukuman mati tak pernah sepi. Setiap kali muncul kasus besar, baik narkotika maupun korupsi, muncul gelombang opini publik yang terbagi dua. Misalnya, dalam unggahan Kompas.com di Facebook yang membahas hukuman mati bagi koruptor, mayoritas netizen mendukungnya, dengan alasan efek jera dan keadilan sosial. Namun, di sisi lain, ada juga yang mengingatkan bahwa hukuman mati tidak akan menyelesaikan akar masalah korupsi dan justru bisa menjadi alat politik untuk menyingkirkan lawan (Facebook Kompas.com, 2023).
Hukuman mati tidak hanya soal hukum, tetapi juga soal political will atau kemauan politik dari pemimpin dan lembaga negara. Dalam banyak kasus, penerapan hukuman mati sangat bergantung pada sikap pemerintah yang berkuasa. Jokowi, misalnya, bersikap tegas terhadap eksekusi mati di awal pemerintahannya, sementara di periode kedua, wacana moratorium mulai menguat. Ini menunjukkan bahwa keputusan terkait hukuman mati bukan sekadar persoalan hukum, tetapi juga terkait strategi politik dan citra kepemimpinan.
Dalam kasus korupsi, hukuman mati sering kali menjadi wacana yang naik turun tergantung pada kepentingan politik. Ketika kasus besar mencuat dan kemarahan publik meningkat, hukuman mati bagi koruptor kembali didorong. Namun, tanpa adanya political will yang konsisten, kebijakan ini sering kali hanya menjadi retorika tanpa realisasi nyata. Oleh karena itu, perdebatan tentang hukuman mati bukan hanya soal moral atau hukum, tetapi juga tentang bagaimana politik membentuk arah kebijakan yang diambil negara.
Perdebatan mengenai hukuman mati akan terus berlangsung, terutama dalam kasus korupsi dan narkotika. Pendukungnya melihatnya sebagai solusi tegas, sementara penentangnya menilai ada alternatif lain yang lebih manusiawi dan efektif. Tapi tak jelas, yang efektif itu seperti apa. Saya sendir dengan putus asa mengatakan, jangan dihukum mati, jangan dirampas asetnya, tapi dikasih makan babi saja lewat siaran langsung. Mungkin, ya mungkin saja ini punya efek jera. Dan buat pemimpin nasional, mungkin dapat dicari data yang valid, betulkah presiden yang menjalankan eksekusi mati, berkuasa lebih lama dibandingkan dengan yang ragu-ragu dengan hukuman mati.

Tinggalkan Balasan