Pernahkah kamu merasa terpaksa memilih sesuatu, bukan karena suka, tapi karena nggak ada pilihan yang lebih baik? Kalau iya, berarti kamu sedang mengalami pola pengambilan keputusan yang disebut memilih yang paling sedikit buruk atau dalam bahasa kerennya disebut lesser evil voting.
Sederhananya, ini adalah kondisi saat kita dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama tidak ideal. Tapi karena tetap harus milih, akhirnya kita pilih yang setidaknya lebih bisa diterima. Dalam behavioral voting, pola seperti ini disebut juga dengan bias negatif (negativity bias). Artinya, orang lebih sensitif terhadap hal-hal buruk daripada hal-hal baik. Jadi, alih-alih memilih yang terbaik, malah sibuk menghindari yang paling tidak disuka.
Fenomena ini sering muncul dalam pemilihan umum. Nggak hanya di Indonesia, tapi juga di berbagai negara lain. Contohnya di Pilpres Amerika tahun 2016, banyak orang memilih Hillary Clinton bukan karena mereka fans berat, tapi karena takut dengan Donald Trump. Begitu juga sebaliknya. Di Inggris saat Referendum Brexit, sebagian orang milih keluar dari Uni Eropa bukan karena yakin keluar itu lebih baik, tapi karena kecewa dengan kondisi Uni Eropa saat itu.
Nah, pola ini juga muncul di Indonesia, khususnya di Pilpres 2014, waktu Jokowi berhadapan dengan Prabowo. Banyak pemilih milih Jokowi, bukan karena semua programnya disukai, tapi karena mereka menganggap Prabowo sebagai pilihan yang lebih berisiko.
Lalu, bagaimana dengan Pilpres 2024?
Kandidat Kuat dan Dilema Pemilih
Tiga nama besar sudah muncul: Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan. Masing-masing punya pendukung fanatik, tapi juga nggak lepas dari kritik tajam.
- Prabowo Subianto dikenal kuat di kalangan nasionalis. Tapi masa lalunya, terutama isu hak asasi manusia, masih jadi bayang-bayang bagi sebagian pemilih. Ada yang khawatir kepemimpinannya bakal terlalu keras.
- Ganjar Pranowo dianggap sosok yang bersih dan dekat rakyat. Tapi, karena dekat dengan PDI-P dan punya kebijakan yang kadang dinilai kurang progresif, dekat dengan pengulangan rumors boneka istana, ada kelompok pemilih yang tidak sepenuhnya nyaman dengan dia.
- Anies Baswedan punya basis kuat di kalangan moderat dan konservatif religius. Tapi ia juga sering dikritik, terutama soal penanganan Jakarta saat jadi gubernur, mulai dari banjir sampai proyek reklamasi.
Nah, bagi pemilih yang tidak sepenuhnya puas dengan salah satu kandidat, pilihan mereka bisa jadi bukan karena kagum dengan sosok yang dipilih, tapi karena ingin mencegah kandidat lain yang lebih tidak mereka sukai menang. Itulah voting negatif.
Mengapa Pemilih Memilih dengan Cara Ini?
Ada beberapa alasannya:
- Informasi Terbatas
Nggak semua orang punya waktu atau akses untuk mempelajari visi-misi semua kandidat. Akhirnya, mereka ambil keputusan cepat: pilih yang paling mendingan aja. - Takut Risiko Lebih Besar
Lebih baik pilih kandidat yang dianggap lebih stabil daripada ambil risiko dengan kandidat yang pandangannya terlalu ekstrem atau nggak jelas. - Pengaruh Media Sosial
Media sosial kadang bikin pemilih terjebak di “gelembung informasi” (filter bubble), di mana mereka cuma dapat info yang sejalan dengan pandangan mereka. Akibatnya, kandidat lain selalu terlihat buruk di mata mereka.
Polarisasi Semakin Dalam
Masalahnya, pola lesser evil ini bisa memperparah polarisasi politik. Polarisasi artinya masyarakat terbelah dalam dua atau lebih kubu yang sangat keras kepala, sulit diajak kompromi. Setiap kebijakan dari lawan politik dianggap selalu salah, tanpa peduli apakah kebijakan itu sebenarnya baik atau buruk.
Misalnya, kalau Prabowo menang, ada kemungkinan pendukung Anies atau Ganjar akan terus mengkritik semua kebijakan Prabowo, apapun bentuknya. Bahkan kalau Prabowo mengeluarkan program yang bagus, seperti pembangunan infrastruktur di daerah terpencil, kelompok lawan mungkin tetap mencari-cari kekurangan, entah soal anggaran, eksekusi, atau efek jangka pendeknya.
Ada beberapa hal yang bikin kondisi ini makin buruk:
- Polarisasi Berkelanjutan
Perbedaan tajam saat kampanye bisa terus terbawa bahkan setelah pemilu selesai. - Bias Negatif Menguat
Setiap langkah presiden dinilai dari kacamata prasangka. Bukan dilihat hasilnya, tapi siapa yang melakukannya. - Media Sosial Jadi Medan Perang
Informasi yang beredar makin tajam menyerang lawan, mempersempit ruang untuk diskusi objektif. - Enggan Akui Keberhasilan Lawan
Pendukung kandidat tertentu bisa sulit mengakui jika kebijakan lawan politiknya ternyata berhasil, karena sudah terlanjur yakin lawannya buruk sejak awal. - Dominasi Politik Identitas
Bukan soal program atau kebijakan lagi, tapi soal siapa “kelompok” atau “identitas politik” yang diwakili kandidat tersebut. - Narasi dari Elit Politik
Para tokoh politik juga punya kepentingan. Jadi, kritik terhadap presiden bisa saja dipakai sebagai strategi untuk menjaga dukungan basis mereka.
Apa Akibatnya?
Kalau kondisi ini terus terjadi, kita bakal hidup dalam masyarakat yang terus terpecah, terpecah antara cebong-kampret, terpecah antara umat kolam-umat daratan. Kebijakan publik dinilai bukan dari hasilnya, tapi dari siapa yang membuatnya. Akhirnya, pembangunan bisa terhambat, karena segala keputusan selalu diperdebatkan tanpa akhir.

Tinggalkan Balasan