Deliberatif: Demokrasi Ragu-ragu yang Menolak Kalah

Belakangan ini Kembali ramai diskursus untuk Kembali ke UUD 1945. Dirasakan demokrasi langsung yang ada sekarang ini bukanlah asli demokrasi Indonesia dan tidak cocok untuk karakter bangsa Indonesia. Selain itu, mencuat pula diskusi tentang berbagai varian demokrasi yang berlaku di era modern ini. Selain Demokrasi Pancasila, demokrasi deliberatif turut mencuat dalam berbagai diskusi. Apa sih demokrasi deliberative itu?

Demokrasi deliberative dipelopori oleh Jurgen Habermas, seorang filsuf dan sosiolog asal Jerman. Dalam karyanya The Structural Transformation of the Public Sphere (1962), Habermas mengemukakan pentingnya ruang publik sebagai tempat diskusi yang bebas dan rasional. Habermas berpendapat bahwa keputusan politik yang sah harus didasarkan pada pertimbangan rasional yang terbuka, di mana semua pihak diberi kesempatan untuk berbicara dan didengar.

Habermas juga menyatakan bahwa demokrasi deliberatif lebih dari sekadar prosedur pemilu. Ia menekankan bahwa keputusan yang diambil oleh negara harus melibatkan dialog terbuka, dengan setiap warga negara memiliki kesempatan untuk ikut berpartisipasi dan mempengaruhi hasilnya. Ini adalah pendekatan yang mendalam, penuh keraguan, dan tidak terburu-buru—sebuah proses yang memerlukan waktu, tetapi pada akhirnya menghasilkan keputusan yang lebih inklusif dan adil.

Di luar demokrasi deliberatif, ada banyak varian demokrasi yang berkembang di dunia. Sebagai contoh, demokrasi perwakilan adalah bentuk yang paling banyak diterapkan, di mana rakyat memilih wakil untuk membuat keputusan politik. Namun, ada juga demokrasi langsung, di mana warga negara memiliki kesempatan untuk membuat keputusan langsung, seperti dalam referendum. Demokrasi partisipatif lebih menekankan pada peningkatan partisipasi warga negara dalam setiap tingkat pengambilan keputusan, sementara demokrasi konsosiasi berfokus pada pembagian kekuasaan di antara kelompok-kelompok yang berbeda dalam masyarakat yang sangat terpecah.

Setiap varian ini memiliki kelebihan dan kekurangan, tetapi pada akhirnya, yang paling penting adalah menciptakan sistem yang mencerminkan kehendak rakyat dan memastikan bahwa kebijakan yang diambil berorientasi pada kepentingan bersama.

Baru-baru ini, perhatian masyarakat Indonesia tertuju pada sebuah pertemuan yang penuh makna antara Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDI-P, dan Presiden Prabowo Subianto. Pertemuan yang berlangsung pada awal April 2025 ini menyiratkan sebuah langkah besar dalam perjalanan politik Indonesia pasca-pemilu, yang bisa menjadi simbol dari sebuah upaya konsiliasi politik antara dua kekuatan besar. Namun, lebih dari sekadar sebuah pertemuan politik, ini juga mengundang banyak perenungan tentang kondisi demokrasi Indonesia saat ini, terutama ketika berbicara mengenai proses deliberatif dalam pengambilan keputusan.

Saya sendiri melihat demokrasi deliberatif sering kali terasa sebagai demokrasi ragu-ragu—sebuah sistem yang penuh dengan pertimbangan, diskusi panjang, dan ketidakpastian sebelum akhirnya sebuah keputusan diambil. Dalam demokrasi deliberatif, proses pembuatan keputusan melibatkan banyak pihak dengan berbagai sudut pandang yang berbeda, yang memungkinkan diskusi yang lebih mendalam. Begitu juga dengan pertemuan Megawati dan Prabowo ini. Meskipun mereka berada dalam posisi yang berbeda selama kampanye pemilu, namun dalam pertemuan tersebut mereka membuka ruang bagi kemungkinan kompromi politik yang lebih luas.

Demokrasi adalah ajaran barat yang lahir dari ketidakpercayaan kebutuhan akan kepastian. Karena itu “kebenaran dan kebutuhan” dikembalikan lagi kepada rakyat. Rakyat yang mana? Rakyat elit, bangsawan, orang-orang pintar, atau orang-orang kuat? Demokrasi barat memandang diskusi tersebut tidak akan pernah selesai, maka jalan yang ditempuh adalah pemungutan suara. Dalam pemungutan suara mana yang paling banyak dipilih oleh rakyat orang-perorangan-itu lah yang menang. Yang menang menjalankan pemerintahan, dan yang kalah menjadi pengawas pemerintaha. Kalau pengawasannya efektif dan disukai oleh rakyat, itu menjadi peluang untuk memenangkan pemilu selanjutnya.

Namun dalam prakteknya di Indonesia, kekalahan demokrasi menjadi tertolak, tidak ada pengakuan “selamat Anda menang-silahkan jalankan pemerintahan”. Kekalahan menjadi diskusi berkepanjangan, dan terkesan pemenang adalah sosok jahat, curang, dlsb. Lalu muncul ketakutan, pemerintahan mendatang tidak akan efektif tanpa keikutsertaan pihak yang kalah. Dalam konteks ini, pemenang Pilpres 2019, Jokowi, merangkul pihak yang kalah. Prabowo yang kalah direkrut menjadi Menteri Pertahanan, dan beberapa “orang Prabowo” pun direkrut menjadi menteri.

Pertemuan antara Megawati dan Prabowo juga membuka perdebatan tentang bentuk demokrasi yang ingin diterapkan di Indonesia. Apakah Indonesia berniat untuk terus memelihara demokrasi yang berbasis pada pemilihan langsung dan pertarungan politik yang ketat, ataukah akan kembali ke musyawarah mufakat—sebuah tradisi yang pernah menjadi ciri khas dalam sistem pemerintahan Indonesia di masa lalu?

Secara historis, Indonesia pernah memiliki sistem yang sangat mengutamakan musyawarah mufakat, di mana keputusan diambil setelah melalui diskusi yang terbuka antara berbagai pihak. Ini adalah bentuk demokrasi yang lebih mengutamakan konsensus ketimbang konfrontasi. Kini, dengan hadirnya pertemuan antara dua tokoh besar tersebut, kita bisa melihat sebuah upaya untuk merespons tantangan zaman dan mempertimbangkan kembali bagaimana sistem demokrasi ini bisa berjalan lebih harmonis dan efektif.

Di tengah ketegangan politik pasca-pemilu, langkah konsiliasi seperti ini mungkin menjadi titik balik untuk menguji apakah Indonesia masih berpegang pada prinsip demokrasi deliberatif, yang menuntut kesabaran dalam mencari solusi yang dapat diterima oleh berbagai pihak, atau apakah kita akan kembali ke sebuah sistem yang lebih mengutamakan musyawarah mufakat.

Salah satu pertanyaan besar yang muncul adalah, apakah pemilihan langsung yang kita lakukan selama ini benar-benar mencerminkan keinginan rakyat secara efektif? Sementara pemilihan langsung memberi kesempatan bagi rakyat untuk memilih pemimpin mereka, namun, dalam praktiknya, hasil pemilu sering kali meninggalkan banyak perpecahan dan ketidakpuasan di kalangan masyarakat. Jika kita melihat pada contoh pertemuan Megawati dan Prabowo, hal ini membuka sebuah perenungan: mungkin sudah saatnya untuk memikirkan kembali tentang sistem pemilihan yang ada.

Apakah kita benar-benar memerlukan pemilihan langsung untuk memilih pemimpin, ataukah ada cara lain yang lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat kita, seperti melalui musyawarah mufakat. Pertanyaannya muswarah siapa dengan siapa, mengapa siapa mewakili siapa, kapan selesainya musyawarah itu, dan pastikah muwsyarah itu bakal memuaskan semua pihak?

Penulis

4 tanggapan untuk “Deliberatif: Demokrasi Ragu-ragu yang Menolak Kalah”

  1. Interesting take on risk assessment! Seeing platforms like otsobet prioritize data-driven odds & quick deposits (like via GCash) is smart for player trust & engagement. Transparency is key in this space!

  2. Understanding variance is key in poker, and that applies to online casinos too! Seeing platforms like JL Boss offering convenient access to jl boss games via their app is interesting – accessibility definitely impacts playtime & potential wins! It’s all about managing risk, right?

  3. Interesting read! Thinking about game design & player experience, jljlph seems to really prioritize that – streamlined onboarding is key. Check out the jljlph app download for a smooth experience & quick access to their platform. It’s all about fair play, right?

  4. Solid article! Thinking about bankroll management is key, especially with quick deposits like those at philucky com. A fast, secure platform can really help you stay focused on strategy and maximize your edge. Good read!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *