Kasus ijazah palsu Jokowi memang menjadi salah satu isu yang terus berkembang, meskipun telah banyak klarifikasi yang menunjukkan bahwa ia lulus ujian skripsi dan mengikuti wisuda di Universitas Gadjah Mada (UGM). Kasus ini sekarang sedang bergulir di pengadilan. Kalau mau mempermudah perkara, pihak Jokowi dapat saja menunjukkan keberadaan ijazah yang sebenarnya, toh Jokowi juga pernah memperlihatkan ijazahnya kepada beberapa wartawan di kediamannya di Solo. Bila Jokowi dengan sukarela memperlihatkan Ijazah itu di pengadilan, the game is over. Tapi ini bukan gaya Jokowi yang dikenal dengan sein kiri tapi belok ke kanan.
Namun, ada juga perspektif lain yang cukup menarik untuk dipertimbangkan. Jokowi bisa saja memiliki ijazah asli, namun memilih untuk belum menunjukkannya kepada publik, dengan alasan yang lebih berkaitan dengan privacy. Dalam dunia politik, terutama di negara sebesar Indonesia, ketidakpastian mengenai sebuah isu bisa digunakan untuk mempertahankan ketertarikan publik terhadap seorang tokoh. Dengan menunda atau menghindari pengungkapan ijazah, Jokowi mungkin sengaja mempertahankan ruang bagi kontroversi agar lawan politiknya tetap terfokus pada masalah ini, alih-alih memperdebatkan isu-isu lain yang lebih merugikan dirinya. Taktik ini dapat menjadi cara untuk membingkai persepsi publik dan lawan politik, dengan menciptakan ketegangan yang terus berlanjut tentang keaslian ijazah, meskipun sebenarnya hal itu sudah terverifikasi dan sah.
Kebijakan untuk tidak langsung menunjukkan ijazah asli atau tidak memberikan pembuktian yang valid dengan segera bisa saja dimanfaatkan untuk mempertahankan ketertarikan publik dan memastikan bahwa tokoh politik seperti Jokowi terus menjadi bahan perbincangan. Strategi ini sejalan dengan pandangan Rocky Gerung, seorang pengamat politik, yang pernah mengatakan bahwa ijazah hanya membuktikan bahwa seseorang pernah kuliah, namun itu tidak serta-merta menunjukkan kualitas atau kredibilitas seseorang. Pada kesempatan ini saya melihat sisi lain dari berkepanjangannya isu ijazah palsu dari sisi komunikasi.
Yang pertama adalah teori agenda setting. Teori agenda setting pertama kali dikembangkan oleh Maxwell McCombs dan Donald Shaw pada tahun 1972. Teori ini menjelaskan bahwa media memiliki kekuatan untuk menentukan isu-isu yang dianggap penting oleh publik. Media tidak hanya memberitahukan publik apa yang harus dipikirkan, tetapi juga apa yang harus dipikirkan tentangnya. Dalam kasus ijazah palsu Jokowi, meskipun fakta yang ada menunjukkan bahwa Jokowi telah menyelesaikan pendidikan dengan sah, media tetap memberikan perhatian lebih pada isu keaslian dokumen.
Melalui pemberitaan yang berulang-ulang tentang tuduhan ijazah palsu, media menciptakan agenda yang membuat isu tersebut terus bergulir, meskipun sudah ada bukti kuat yang membuktikan bahwa Jokowi lulus ujian skripsi dan diwisuda pada tahun 1985. Media dengan demikian memegang peran penting dalam menjaga isu tetap relevan dan mengarahkan perhatian publik pada topik yang bisa terus diperdebatkan. Dalam hal ini, media memanfaatkan agenda setting untuk mempertahankan keberlanjutan diskusi mengenai tokoh tersebut.
Erving Goffman adalah tokoh yang mempopulerkan konsep framing, yang berfokus pada bagaimana informasi disajikan dengan cara tertentu untuk membentuk persepsi publik. Dalam hal ini, framing memungkinkan media untuk menyajikan isu ijazah palsu Jokowi dengan perspektif yang tidak sepenuhnya objektif. Meskipun sudah ada klarifikasi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), media tetap menyoroti ketidakpastian terkait font yang digunakan dalam dokumen atau kesalahan administratif yang menciptakan kesan kontroversial.
Framing semacam ini menjaga agar isu ijazah palsu tetap berada di pusat perhatian, meskipun seluruh bukti sudah menunjukkan bahwa Jokowi lulus ujian skripsi dan diwisuda. Media dapat memilih untuk memperbesar elemen-elemen yang kurang relevan, seperti font yang digunakan, dan mengabaikan fakta-fakta yang jelas, seperti proses akademik yang sah yang telah dijalani oleh Jokowi. Framing ini berfungsi untuk menjaga isu tetap menggantung dan mengundang perdebatan tanpa penyelesaian yang jelas.
Dalam teori public relations, Edward Bernays berpendapat bahwa PR berfungsi untuk mengelola persepsi publik dengan menyampaikan pesan yang dapat memengaruhi pandangan masyarakat terhadap tokoh atau organisasi. Dalam kasus ini, Jokowi perlu mengelola citra positif meskipun menghadapi isu ijazah palsu. PR berperan untuk memastikan bahwa informasi yang disampaikan adalah informasi yang benar dan dapat dipercaya oleh publik.
Jokowi bisa memanfaatkan strategi PR dengan menekankan pada bukti keaslian ijazah, serta verifikasi dari UGM yang menyatakan bahwa beliau adalah alumni yang sah. Meskipun isu tersebut tetap berkembang di media, PR Jokowi dapat memastikan bahwa diskursus tetap terfokus pada pencapaian nyata, bukan pada polemik yang tidak berdasar. Dalam hal ini, PR dapat membantu mengubah fokus dari iskus pembicaraan negatif ke prestasi Jokowi sebagai pemimpin negara.
Teori uses and gratifications, yang diperkenalkan oleh Elihu Katz, menjelaskan bagaimana individu memilih media untuk memenuhi kebutuhan mereka, baik itu kebutuhan informasi, hiburan, atau konfirmasi terhadap pandangan mereka. Dalam konteks kasus ijazah palsu Jokowi, publik mungkin terus mengikuti perkembangan isu tersebut karena kebutuhan mereka untuk mendapatkan konfirmasi atau penjelasan lebih lanjut terkait pernyataan yang beredar.
Strategi untuk mengulur-ulur waktu dan menunda pembuktian yang valid oleh pihak yang bersangkutan, dalam hal ini media, bisa memenuhi kebutuhan publik yang terus mencari informasi lebih lanjut. Ini menjaga isu tetap hidup dan membuatnya menjadi topik pembicaraan di ruang publik. Media berperan dalam memastikan bahwa kebutuhan informasi terkait tokoh tersebut tetap terisi, meskipun sebagian besar fakta sudah terungkap.
Sebagaimana pernah diungkapkan oleh Rocky Gerung, seorang akademisi dan pengamat politik, bahwa ijazah hanya membuktikan bahwa seseorang pernah kuliah, namun tidak serta-merta membuktikan kemampuan atau kualitas intelektual seseorang. Jokowi, meskipun memiliki ijazah dan terbukti lulus ujian skripsi dan mengikuti wisuda, tetap menjadi bahan perbincangan publik. Gerung menekankan bahwa ijazah bukanlah satu-satunya bukti kredibilitas, karena seorang individu bisa saja terbukti lebih sukses atau berkompeten melalui prestasi dan pengalaman kerja, yang lebih relevan daripada sekadar dokumen akademik. Dengan kata lain, keberhasilan Jokowi dalam menjalankan pemerintahan dan kebijakannya lebih penting untuk dipertimbangkan daripada sekadar validitas ijazah yang telah dipertanyakan oleh segelintir pihak.
Akhirnya, polemik tentang ijazah palsu Jokowi memberikan contoh yang jelas bagaimana komunikasi massa dapat terus menjaga agar suatu isu tetap relevan di ruang publik. Meskipun sudah terbukti bahwa Jokowi lulus ujian skripsi dan mengikuti wisuda, teori-teori komunikasi seperti agenda setting, framing, public relations, dan uses and gratifications menjelaskan bagaimana media dapat mempertahankan perhatian publik terhadap isu tersebut. Melalui framing yang selektif dan pengelolaan narasi oleh media, isu ini tetap menjadi bahan diskusi, meskipun sudah ada bukti yang membuktikan keaslian ijazah Jokowi. Pada akhirnya, ini menunjukkan bagaimana media dan komunikasi massa memainkan peran besar dalam menciptakan ketertarikan terhadap isu tertentu, meskipun fakta yang ada sudah sangat jelas.

Tinggalkan Balasan